You are here
Home > Highlighted > SEKOLAH PENCETAK MILIARDER

SEKOLAH PENCETAK MILIARDER

BUENNEWS- Sebuah potongan kliping di media sosial membuat gempar jagat maya yang menampilkan empat perguruan tinggi berpotensi melahirkan miliarder di Indonesia. Perguruan tinggi itu disebut sekolah bisnis, walau faktanya aset pemerintah yang merupakan lembaga pendidikan keuangan, keamanan, pertahanan, dan pemerintahan. Penggiringan opini tanpa data semacam itu dimaklumi sebagai emosi sesaat atas kasus oknum petugas pajak yang hidup gemerlap. Penyebabnya sepele namun meluas ke mana-mana.

Narasi pendek soal potensi melahirkan miliarder tentu membahagiakan. Setidaknya iklan gratis yang dapat mendorong optimisme peminat, sekalipun nyatanya lebih banyak yang menyekolahkan legalitas pegawainya di bank dalam bentuk pinjaman hutang. Mungkin bagi mayoritas petugas pajak tak sulit menambah income, namun bagi seorang polisi, tentara dan pamong jujur, satu-satunya cara adalah menggadaikan legalitas profesinya untuk bertahan dari tahun ke tahun.

Doktrin senioritas dalam sekolah kedinasan Pamongpraja misalnya, keliru anda masuk ke sini jika orientasinya ingin menjadi orang kaya. Sebaiknya urungkan niat anda dan pilih sekolah lain di luar kampus ini. Betapa tidak, gaji pokok seorang Pamong selevel sekretaris lurah dari Sabang sampai Merauke sama, Rp 3 jutaan. Masih lebih tinggi pendapatan tukang parkir dan pengamen di Blok M tiap bulan. Bedanya di tunjangan, tergantung kelas jabatan dan di daerah mana mereka bertugas.

Kata filosof John Dewey (1859-1952), tujuan pendidikan tak lain kecuali mengubah diri dan lingkungannya. Perubahan diri mencakup aspek kognisi, psiko dan afeksi. Sementara perubahan lingkungan berkaitan dengan seberapa faedah seseorang dengan ilmunya mampu mengubah ekosistem di sekitarnya. Tanpa ukuran itu sekolah hanya menara gading, tempat mendengarkan instruksi massal, formalistik, simbolik, statis, dan kemudian mati.

Bersekolah di pemerintahan tentu menyentuh kedua tujuan di atas. Mengubah diri menjadi pelayan sama maknanya menurunkan ego serendah mungkin dihadapan majikan (rakyat). Dalam kesadaran itu setinggi-tingginya gaji dan tunjangan seorang pegawai negeri, ia tetap hamba. Bahasa asalnya disebut minis (kurang) yang kemudian bermetamorfosis menjadi ministrare, minister dan administrasi. Jadi, entah anda Bendahara, Kapolsek, Danramil maupun Lurah, tetap saja berstatus jongos.

Prospek mengubah lingkungan berdampak luas. Seorang dokter mungkin hanya mampu menyelamatkan satu-dua pasien, namun sosok pemerintah mampu menyelamatkan orang banyak. Di tangan mereka uang dapat dicairkan, gangguan dapat dicegah, ancaman dapat dihalangi, serta nasib orang banyak dapat diubah. Setiap kebijakan dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif bergantung pemerintahnya. Sebab itulah pemerintahan berhubungan dengan soal hidup dan mati (Ndraha, 2002).

Mungkin, dalam persentuhan dengan lingkungan itulah para pelayan berpotensi menjadi kaya. Semakin banyak kepentingan yang mesti diatur, semakin tinggi pula desakan diprioritaskan. Realitas itu tak hanya menggoda para pelayan tuna etik, juga hasrat para majikan tuna moral. Di situ demand and supply tercipta lewat prinsip ada barang ada harga. Semua bisa diatasi lewat konsensus tak tertulis. Dasarnya suka sama suka sejauh tak ada yang dirugikan.

Sejatinya, persekolahan tak berkorelasi langsung dengan kekayaan. Tak sedikit orang tamat sarjana malah jadi pengangguran dan miskin. Banyak orang kaya lahir dari persekolahan yang rendah. Anehnya sepuluh orang terkaya di Indonesia hanya mengenyam sekolah dasar hingga sarjana di luar empat sekolah kedinasan yang diklaim melahirkan miliarder. Tujuh orang terkaya menurut Forbes Real Time Billionare (2020) berasal dari Undip, UI, ITB dan perguruan tinggi yang tak punya nama beken.

Bila kita renungkan, orang menjadi kaya bukan semata karena persekolahan, namun kemampuan mereka mengubah cara pandang. Betul bahwa cara pandang dapat diubah lewat persekolahan, namun itu bukan satu-satunya. Mencontoh pendidikan di luar kelas lewat pengalaman (psiko), ketekunan dan disiplin yang tinggi (afeksi) dapat mengubah seseorang menjadi miliarder. Lihat saja para pekerja yang bangun lebih pagi dan pulang lebih telat, mereka sukses dan menikmati hasil luar biasa.

Dalam konteks inilah kita butuh terobosan lewat kebijakan pendidikan. Mungkin ada benarnya bila ingin kaya kita perlu belajar disiplin dari para pengusaha sukses. Bila sekolah berani mengadaptasi disiplin para pekerja, mungkin saatnya mencontoh kebijakan sekolah early morning seperti di  Provinsi NTT yang masuk pukul 5 pagi. Jika ini dinilai sebagai bagian dari proses pendidikan, mungkin saja dalam 15 tahun ke depan banyak orang bersekolah benar-benar menjadi miliarder, bukan sebab irisan pendidikan.

Sumber : *) Penulis adalah analis pada Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta / tangselpos – Prof. Dr. Muhadam Labolo, M.Si

Leave a Reply

Top